Sintang, 18 Agustus 2025 – Di banyak penjuru Asia, rasa bukan sekadar soal selera, namun ia adalah warisan, identitas, dan cerminan hubungan manusia dengan alam. Di Asia Tenggara khususnya, kekayaan rempah-rempah dan teknik memasak tradisional yang diwariskan lintas generasi tumbuh dari keberlimpahan lumbung-lumbung pangan lokal: hutan, ladang, sawah, dan sungai. Pangan lokal suatu daerah menjadi pintu masuk yang menggoda untuk menelusuri jejak panjang kearifan lokal dalam menyelami keseimbangan ekosistem pangan yang berkelanjutan. Namun, perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam kini mengancam keberlanjutan ketersediaan bahan pangan lokal tersebut.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2025 mengungkap bahwa lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan prediksi potensi bencana kelaparan akibat menurunnya hasil panen atau gagal panen pada tahun 2050. Krisis ini semakin nyata dengan meningkatnya suhu global dan perubahan pola musim yang mengganggu produksi pangan utama seperti beras, gandum, dan jagung.
Di tengah kerentanan global tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh melalui pelestarian praktik-praktik lokal yang telah terbukti adaptif terhadap perubahan alam. Kalimantan Barat, dengan hutan hujan tropisnya yang kaya akan keanekaragaman hayati, menyimpan potensi luar biasa dalam membentuk ekosistem pangan yang regeneratif. Di wilayah ini, pengetahuan turun-temurun tentang bercocok tanam, panen hasil hutan, serta mengolah bahan pangan alami telah menjadi pedoman bagi masyarakat di Indonesia. Melalui tradisi, praktik ini turut membentuk dasar ketahanan pangan berkelanjutan.
Namun, pergeseran sosial dan budaya yang terjadi di masa kini telah mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam menjaga alam dan mengelola sumber pangan secara berkelanjutan, yang masih tergolong rendah. Alih fungsi hutan untuk kepentingan industri turut mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat, yang akhirnya mengikis pengetahuan masyarakat akan sumber daya alam bagi kesejahteraan mereka.
Kabupaten Sintang, sebagai salah satu wilayah di Kalimantan Barat, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber pangan lokal. Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sintang tahun 2021-2026 telah menentukan luasan pola ruang kawasan tanaman pangan di Kabupaten Sintang untuk pertanian berkelanjutan dengan luas sebesar 2.163.500 Ha–kira-kira setara dengan 3,7 kali luas pulau Bali atau hampir 3 kali lebih besar dari Brunei Darussalam. Perlunya penekanan kesadaran masyarakat terhadap potensi melimpah yang dapat berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan daerah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
Alam Sebagai Jangkar Warisan Budaya Suku Dayak Desa
Mengingat isu keberlanjutan pangan lokal menjadi salah satu tantangan paling mendesak saat ini, diperlukan upaya kolektif untuk menjawabnya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya potensi kekayaan alam daerahnya. Untuk mendukung hal tersebut tersebut, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) bersama dua sentra orang muda di Sintang dan Sanggau, Kalimantan Barat menjalankan program ExploNation sebagai bagian dari rangkaian kegiatan menuju Festival Lestari 2026. Program tersebut mengajak para konten kreator untuk menjelajahi lebih dalam kekayaan alam dan budaya serta menyoroti hubungan antara budaya lokal dan upaya pelestarian alam. Pada seri pertama program ExploNation menggandeng tiga konten kreator dan komunitas orang muda di Sanggau dan Sintang untuk melihat lebih dekat praktik restorasi yang dilakukan oleh masyarakat adat di Sintang, Kalimantan Barat.
Salah satu konten kreator dari pegiat pangan yang dilibatkan dalam program ExploNation kali ini adalah La Ode, Top 10 Kontestan Masterchef Indonesia Season 8, untuk mengeksplorasi makanan khas di Sintang yang dipengaruhi oleh akulturasi tiga suku di Kalimantan Barat, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Dalam proses eksplorasi ini, La Ode terjun langsung menyusuri area Rimba Gupung, menelusuri Sungai Kapuas, dan berdiskusi dengan pegiat pangan lokal di Sintang.
“Perjalanan tracking ke Rimba Gupung memberikan pengalaman seru dengan penemuan Akar Bajakah yang bisa langsung diminum dan dipercaya berkhasiat untuk kesehatan. Serta panen pucuk pakis merah untuk diolah menjadi santapan malam dengan warga di Rumah Betang Ensaid Panjang. Hal ini menyadarkan betapa pentingnya menjaga keberlangsungan ekosistem hutan, agar warisan pengetahuan tentang akar, dedaunan, dan buah yang bisa terus dimanfaatkan, agar regenerasi budaya tetap terjaga dan tidak terputus,” Kata La Ode.

Selain menjelajahi Rimba Gupung setempat, ia juga berkesempatan menginap di Rumah Betang Ensaid Panjang yang merupakan tempat tinggal komunal untuk sekitar 33 kepala keluarga Suku Dayak Desa. Di sana, ia berdiskusi dan mempelajari keseharian masyarakat adat di sana yang berdampingan hidup dengan alam. Sesi berbagi pengetahuan tentang pengelolaan pangan lokal di Desa Ensaid Panjang pun berlangsung hangat. La Ode turut belajar dari ibu-ibu setempat bagaimana cara mengolah bahan pangan dari ‘kulkas’ alam di Rimba Gupung.
La Ode mengatakan, “Pengalaman tak terlupakan adalah mengolah ikan pekasam dan ubi tumbuk bersama ibu-ibu di Desa Ensaid Panjang. Saya banyak belajar bahwa upaya menjaga dan memulihkan alam tidak hanya penting bagi kelestarian lingkungan, tetapi berkontribusi besar dalam merawat budaya yang telah diwariskan secara turun temurun. Dari proses tersebut, saya menyadari bahwa pangan lokal–yang berasal dari alam sekitar dan diolah dengan kearifan tradisional–memiliki nilai yang jauh lebih dalam. Tidak hanya sebagai makanan, tapi juga sebagai bagian dari identitas budaya.”
Ia menekankan pentingnya pendokumentasian, pengarsipan, dan promosi pangan Sintang agar tetap menjadi jangkar budaya di tengah modernisasi.
Membangun Kapasitas Guna Mendorong Perekonomian Lokal
Dalam agenda ExploNation, La Ode juga berbagi pengetahuan dengan membuat lokakarya “Food Content Taking and Storytelling” untuk 14 orang muda dari Kabupaten Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Pelatihan ini menjadi wadah belajar dan bimbingan bagi mereka untuk mengasah kemampuan bercerita dan mengembangkan materi komunikasi berbasis budaya lokal. Harapannya, para peserta orang muda dapat berkontribusi sebagai penutur lokal yang mendukung berbagai inisiatif masyarakat di Kalimantan Barat dalam kerangka ekonomi restoratif.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sintang Kurniawan menyampaikan, “Kami sangat mengapresiasi semangat dari orang-orang muda dalam kegiatan ini sebagai upaya nyata untuk mengangkat kekayaan alam dan budaya Sintang. Inisiatif ini menjadi langkah krusial dalam meningkatkan kesadaran luhur budaya setempat dan keterkaitannya dalam menjaga dan memulihkan lingkungan demi kesejahteraan seluruh masyarakat.”

Peran dari pangan lokal Sintang terbukti berkontribusi besar pada sektor ekonomi kreatif dan pariwisata yang menjadi pilar penopang ekonomi daerahnya. Salah satunya terlihat dalam Pameran Ekonomi Kreatif dan Kuliner Sintang 2025 yang melibatkan 199 pelaku usaha dan berhasil mencatat total transaksi mencapai lebih dari Rp2 miliar dalam seminggu.
La Ode menambahkan “Memulihkan lingkungan berarti memulihkan akar budaya kita sendiri. Saya percaya, masa depan pangan Sintang terletak pada keberanian kita untuk melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai sumber kehidupan yang harus dirawat.”
Dalam semangat program ExploNation, La Ode turut melibatkan warga lokal untuk mendokumentasikan resep pangan Sintang yang beragam. Langkah ini tidak hanya berfungsi sebagai upaya pelestarian warisan cita rasa Sintang, tetapi juga menjadi strategi penting dalam memperkuat ketahanan pangan. Dengan mendorong masyarakat untuk kembali mengapresiasi serta mengembangkan bahan pangan lokal, inisiatif ini turut menghadirkan peluang ekonomi kreatif yang melibatkan petani hingga pelaku usaha. Seluruh ekosistem ini berkontribusi pada terciptanya sistem pangan yang lebih mandiri, beragam, dan berkelanjutan.
Program ExploNation ini diharapkan menjadi pemicu sebuah gerakan yang lebih luas untuk pemulihan lingkungan,menekankan pentingnya ekonomi restoratif sebagai model pembangunan yang memulihkan alam sekaligus merawat budaya. Melalui pendekatan ini, pangan lokal tidak hanya menjadi bagian penting dari identitas daerah, tetapi juga pilar ekonomi yang berkelanjutan yang memastikan bahwa sumber daya alam tetap produktif dan terjaga, sembari memperkuat identitas dan kesejahteraan masyarakat setempat.